Temuan-temuan terbaru tentang cara belajar, dengan beragam variasinya, mengarah pada satu kesimpulan bahwa betapa lebih efektifnya belajar melalui praktik dibandingkan hanya teori saja.
Meskipun sudah banyak bukti dan banyak juga yang kian meyakini kesimpulan di atas, namun menjadi lebih argumentatif jika kita tahu alasan logisnya.
Keselarasan antara Tubuh dan Pikiran
Para ahli saraf terkemuka kini meyakini bahwa setiap informasi yang didapatkan otak tak hanya disimpan di dalam otak saja, melainkan juga pada bagian tubuh lainnya. Penyimpanan pada anggota tubuh lainnya itulah yang diyakini menjadi memori bawah sadar yang suatu saat bisa diaktifkan manakala dibutuhkan. (Revolusi cara Belajar : 2000)
Hal itu serasi dengan konsep kerja anggota tubuh yang kesemuanya saling bergantung (otak, jantung, hati, ginjal, empedu, dan lain sebagainya) tanpa bisa dipisah-pisahkan.
Ketika satu anggota tubuh rusak maka bagian lain juga kena imbasnya. Itulah yang kemudian dikenal dalam dunia medis sebagai komplikasi. Misalnya ketika kelenjar tiroid bermasalah maka jantung pun menunjukkan gejala penurunan fungsi secara perlahan-lahan, ketika fungsi hati menurun, maka kemampuan empedu untuk memproduksi zat penetral racun tubuh juga menurun, dan banyak contoh lainnya.
Kembali kepada hubungan pikiran-tubuh, maka begitulah kesesuaiannya. Apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi aktivitas atau aksi tubuh, dan apa yang dilakukan tubuh secara fisik juga akan mempengaruhi otak.
Belajar dengan mengaktifkan sensor lengkap yang dimiliki tubuh yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecap, dan indra peraba sudah dipraktikkan oleh Montessori, dan hasilnya memuaskan. Bahkan beberapa anak yang mengalami keterbelakangan mental menunjukkan kemajuan yang berarti setelah mereka diajari menulis dengan meraba huruf dari kertas ampelas kasar, bermain lempung, belajar menuangkan air tanpa tumpah, dan aktivitas sensoris lainnya.
Memang, jika hanya sepintas kita tak akan mampu melihat keterkaitan tersebut, namun dalam rentang waktu tertentu, dalam jangka panjang kita akan melihatnya dengan jelas.
Bukti-bukti dari dunia nyata berupa model-model pembelajaran terbaru, yang memasukkan gerak anggota tubuh sebagai bagian dari metode belajarnya sering cukup mencengangkan. Misalnya aktivitas bermain lempar-tangkap bola, memasukkan biji-bijian kecil ke dalam botol, meronce, bisa membantu penderita autisme mengalami kemajuan sensoris yang sebelumnya lemah.
Selain itu, kita juga mungkin pernah mendengar metode menghafal Al-Quran dengan isyarat tangan ternyata jauh lebih efektif dibandingkan metode konvensional.
Demikian juga halnya model belajar matematika dengan jari, belajar bahasa dengan nyanyian dan drama, belajar kosa kata asing dengan menggerakkan anggota tubuh sebagai simbol, belajar konsentrasi dengan merangkak, dll.
Fakta-fakta tersebut di atas mungkin hanya sebagian kecil contoh, namun pada prinsipnya, seluruh model belajar yang mengintegrasikan aktivitas fisik dengan materi pelajaran jauh lebih berhasil dibandingkan hanya teori saja.
Oleh karena itu, tentu tidak ada alasan bagi para pendidik untuk menghambat gerak fisik anak-anak saat mereka belajar, termasuk ketika mereka memanjat pohon untuk mengamati sarang burung, menggali tanah untuk melihat lubang larva kumbang, atau mengotak-atik dahan-dahan kering untuk dijadikan ‘benda ajaib’ imajinasi mereka sendiri. Percayalah, suatu hari semua aktivitas yang nampak tidak mengandung unsur belajar itu justru membantu anak-anak untuk menyukai belajar lebih daripada apapun.
Disadur dari tulisan Maya Pudjianti (duniaparenting.com)
Share
Label:
Methode Belajar
Para ahli saraf terkemuka kini meyakini bahwa setiap informasi yang didapatkan otak tak hanya disimpan di dalam otak saja, melainkan juga pada bagian tubuh lainnya. Penyimpanan pada anggota tubuh lainnya itulah yang diyakini menjadi memori bawah sadar yang suatu saat bisa diaktifkan manakala dibutuhkan. (Revolusi cara Belajar : 2000)
Hal itu serasi dengan konsep kerja anggota tubuh yang kesemuanya saling bergantung (otak, jantung, hati, ginjal, empedu, dan lain sebagainya) tanpa bisa dipisah-pisahkan.
Ketika satu anggota tubuh rusak maka bagian lain juga kena imbasnya. Itulah yang kemudian dikenal dalam dunia medis sebagai komplikasi. Misalnya ketika kelenjar tiroid bermasalah maka jantung pun menunjukkan gejala penurunan fungsi secara perlahan-lahan, ketika fungsi hati menurun, maka kemampuan empedu untuk memproduksi zat penetral racun tubuh juga menurun, dan banyak contoh lainnya.
Kembali kepada hubungan pikiran-tubuh, maka begitulah kesesuaiannya. Apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi aktivitas atau aksi tubuh, dan apa yang dilakukan tubuh secara fisik juga akan mempengaruhi otak.
Belajar dengan mengaktifkan sensor lengkap yang dimiliki tubuh yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecap, dan indra peraba sudah dipraktikkan oleh Montessori, dan hasilnya memuaskan. Bahkan beberapa anak yang mengalami keterbelakangan mental menunjukkan kemajuan yang berarti setelah mereka diajari menulis dengan meraba huruf dari kertas ampelas kasar, bermain lempung, belajar menuangkan air tanpa tumpah, dan aktivitas sensoris lainnya.
Memang, jika hanya sepintas kita tak akan mampu melihat keterkaitan tersebut, namun dalam rentang waktu tertentu, dalam jangka panjang kita akan melihatnya dengan jelas.
Bukti-bukti dari dunia nyata berupa model-model pembelajaran terbaru, yang memasukkan gerak anggota tubuh sebagai bagian dari metode belajarnya sering cukup mencengangkan. Misalnya aktivitas bermain lempar-tangkap bola, memasukkan biji-bijian kecil ke dalam botol, meronce, bisa membantu penderita autisme mengalami kemajuan sensoris yang sebelumnya lemah.
Selain itu, kita juga mungkin pernah mendengar metode menghafal Al-Quran dengan isyarat tangan ternyata jauh lebih efektif dibandingkan metode konvensional.
Demikian juga halnya model belajar matematika dengan jari, belajar bahasa dengan nyanyian dan drama, belajar kosa kata asing dengan menggerakkan anggota tubuh sebagai simbol, belajar konsentrasi dengan merangkak, dll.
Fakta-fakta tersebut di atas mungkin hanya sebagian kecil contoh, namun pada prinsipnya, seluruh model belajar yang mengintegrasikan aktivitas fisik dengan materi pelajaran jauh lebih berhasil dibandingkan hanya teori saja.
Oleh karena itu, tentu tidak ada alasan bagi para pendidik untuk menghambat gerak fisik anak-anak saat mereka belajar, termasuk ketika mereka memanjat pohon untuk mengamati sarang burung, menggali tanah untuk melihat lubang larva kumbang, atau mengotak-atik dahan-dahan kering untuk dijadikan ‘benda ajaib’ imajinasi mereka sendiri. Percayalah, suatu hari semua aktivitas yang nampak tidak mengandung unsur belajar itu justru membantu anak-anak untuk menyukai belajar lebih daripada apapun.
Disadur dari tulisan Maya Pudjianti (duniaparenting.com)
0 komentar:
Posting Komentar